Laman

Tuesday, April 10, 2012

Coklat dan Lelaki di Pintu Surga


Masih ingatkah kasus seorang anak yang mencuri sandal ? atau kasus nenek tua yang mencuri coklat kakao di tahun 2009 dahulu?
Saya ingat saat itu saya baru akan menjadi seorang mahasiswa. Jiwa ‘integritas’ saya rasanya sedang mulai tumbuh. Tau kah kondisi di dalam hati? Ya, geram sekali. “kalau saya mahasiswa, saya akan berdemo untuk kasus ini”, demikian gumam saya dulu ketika mendengar kabar tersebut.  
Kemanakah keadilan di negeri ini? Mungkin sudah lenyapkah?

Bagaimana bisa seorang nenek yang hanya mencuri beberapa biji kakao dihukum berbulan-bulan. Hanya biji kakao yang harga di pasaran kurang dari 10.000. Tidakkah mereka kasihan? Tidakkah berperikemanusiaan? Tidakkah mereka berhatinurani? Tega benar...
Kemanakah keadilan? Apa ia sudah hilang?
Bagaimana dengan para koruptor yang mencuri uang rakyat bermilyar-milyar, memasukkannya rekening tebal mereka dan membiarkan rakyat hidup sengsara? Belum lagi dengan efek domino yg diterima masyarakat. Mereka tetap bisa hidup senang. Bebas dari hukuman. Tetap menikmati mobil halus, rumah mewah, dan pelancongan perjalanan dinas yang juga berasal dari keringat rakyat. Bagaimana bisa ini terus terjadi dii negeri ini..
Ah, galau sekali jika memikirkannya..
***
Dan ketika memasuki kampus, menerima mata kuliah hukum, dan mulai mengikuti elkam anti korupsi, saya mulai berfikir ulang. Ada celah cahaya yang membuat saya membuka mata lebih lebar untuk melihat lebih luas.
Ya,  saya memang masih suka ikut menggerutu jika ada kasus korupsi besar. Kasus yang paling hangat akhir-akhir ini adalah teman gayus. Kakak kelas saya juga. Masih ada rasa geram. Tapi sebuah artikel yang berjudul “Dhana Widyatmika, Lelaki di Pintu Surga” dari sebuah majalah edisi tahun 2007 mengetuk hati saya :
“...Ketika ibunya tengah sakit keras dan harus buang hajat di pembaringan, Dhana tidak tega menggunakan pispot karena menurutnya benda itu terlalu keras dan nanti bisa menyakiti tulang ibunya. Sebagai gantinya, ia menengadahkan keduatangannya dengan beralaskan tisu untuk menampungnya...”
Hei, dia juga manusia, terlepas dari berapa dan bagaimana dengan kasus korupsinya merugikan masyarakat. Dia bahkan anak yang berbakti pada ibunya. Hmm... berarti ada yang salah. Sesuatu yang salah yang perlu dibenarkah. Tapi dimana? Di sistem, di lingkungan, di personal, atau semuanya? Ah, siapa yang tau...
Tapi kabar gembiranya, keadilan bukan lenyap. Dia masih ada.
Kita mungkin hanya perlu membuka mata lebih lebar. Memandang lebih luas.. Sapa yang tau kalau pencurian kakao itu ternyata dilakukan tak hanya sekali dan warga lain juga sering melakukannya. Akumulasinya mungkin jadi tak kecil. Dan akumulasi itulah yang mungkin membuat perusahaan geram karena merugi.
Dan pejabat kaya itu, mungkin saja punya puluhan bisnis di luar sana. Mungkin saja, dia hanya menjadi kambing hitam koruptor kelas kakap atasannya. Mungkin saja dia memang korupsi, tapi itu karena sistem yang salah. Banyak kemungkinan. Sekali lagi, siapa yang tau...
Huh, soal orang-orang penting  itu memang berat. Bahkan meski tiap hari mengikuti jalannya berita di tv, tetap saja saya bingung dengan jalan kasusnya. Belum lagi ketika ada yang bohong secara intelek...pusing!
Ya. Paling tidak keadilan belum lenyap, kawan. Keadilan itu mungkin hanya terselip.
Terselip dalam lembaran kisah kasus tebal pengadilan. Membeku di sela-sela hati para hakim. Terpanggang keinginan membara para pengacara untuk menafkahi keluarganya secara layak. Tertutupi debu di hati kecil lelaki yang berbakti pada orang tua. Atau mungkin malah dia sendiri terlalu takut keluar hingga harus bersembunyi di pojok hati masing- masing dari kita.
Fiuh, dimana pun dia, dia harus segera muncul.  Kita semua merindukannya kan? Sudah terlalu lama dia hanya meninggalkan sedikit sisa di negeri ini.  Mungkin ia tertawan hati manusia yang terlalu hitam. Tertutupi  nurani yang terlalu berdebu. Terikat di sana, bersembunyi di balik realita.
Dan rasanya, solusinya ada di semua orang. Di masing-masing kita. Menarik keadilan keluar dari persembunyian, merangkulnya erat, dan bersaudara dengannya. Sekecil apapun usaha yang kita bisa.  Siapapun dan apapun diri kita. Sekarang juga! J
 -ditulis dlm rangka gerakan menulis pengurus SPEAK (spesialisasi anti korupsi) untuk speakstan.blogspot.com dan majalah SPEKTRA. Download majalah spektranya di sini-

1 comment: